Aku dan lima teman sepakat untuk begadang di sekolah. Bukan karena tugas kelompok atau belajar, tapi hanya iseng—dan mungkin juga cari sensasi horor yang sering kita dengar dari guru-guru. Kami memutuskan untuk mencoba tidur di perpustakaan. Entah kenapa, ide itu terdengar menantang. Sekolah kami memang punya reputasi angker. Ruang musik tua sudah tidak terpakai selama lebih dari sepuluh tahun, dan ada satu kelas yang selalu dikunci karena ceritanya dulunya sering terjadi kejadian kesurupan.
Kami berenam akhirnya tertidur di antara rak-rak buku yang rapi. Hanya sebentar, mungkin sekitar sepuluh menit. Tiba-tiba sebuah buku besar jatuh dengan suara menggelegar. Semua terbangun. Jantungku berdebar kencang. Jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Kami mencoba tenang, berusaha meyakinkan diri itu hanya mimpi buruk atau buku jatuh karena angin.
Tapi yang benar-benar membuat bulu kuduk berdiri adalah ketika salah satu temanku bangun mendadak. Dia tampak panik, matanya melotot. “Kalian dengar? Suara gamelan! Di dekat ruang musik!”
Kami semua saling pandang. Tak ada yang mendengar. Kami pikir dia hanya halusinasi. Sampai...
Suara gamelan itu benar-benar terdengar. Perlahan tapi jelas. Alunan musik tradisional yang biasanya hanya terdengar saat acara adat atau upacara. Padahal jam menunjukkan pukul 3 pagi. Siapa yang akan main gamelan tengah malam?
Kami langsung lari. Meninggalkan perpustakaan, meninggalkan jaket, bahkan lupa ambil sandal. Kami tidak peduli lagi dengan gengsi. Yang penting keluar dari sana.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang aneh di sekolah itu. Waktu kelas delapan, aku selalu datang pagi-pagi sekali. Lebih awal dari siapa pun. Aku piket setiap Jumat, dan selama beberapa minggu tidak ada yang aneh. Sampai suatu hari...
Hari itu Jumat. Jam menunjukkan pukul 05.58 pagi. Aku sedang menyapu halaman depan sekolah. Udara pagi biasa, belum banyak orang. Tiba-tiba, dari sudut mataku, kulihat bayangan putih. Sosok anak perempuan berambut panjang, baju putih, berdiri tak jauh dariku.
Si Manis.
Aku langsung membeku. Kedua tanganku memegang sapu erat-erat. Aku tidak bisa bergerak. Aku tahu siapa dia. Cerita tentang Si Manis sering diceritakan oleh guru-guru senior. Ia adalah siswi SMP kami yang meninggal karena kecelakaan di depan gerbang sekolah. Kuburnya ada di belakang gedung. Konon, arwahnya tetap di sekolah karena tidak tenang.
Ia mendekat. Senyumnya manis. Tapi matanya kosong. Dingin. Menyeramkan.
Aku ingin berteriak, ingin lari. Tapi tubuhku tak merespons. Akhirnya, aku pingsan. Setelah itu, aku sakit selama tiga minggu. Tidak mau masuk pagi-pagi lagi. Bahkan sampai sekarang, aku trauma jika harus sendirian di sekolah pagi buta.
Yang lebih menyeramkan lagi, ternyata bukan cuma murid-murid yang merasakan keanehan. Guru-guru juga. Ada yang bilang, malam-malam mereka mendengar suara zikir berjamaah dari aula, padahal tidak ada kegiatan apapun. Ada juga yang melihat lampu kelas menyala sendiri meski listrik sudah dimatikan.
Dan yang paling bikin ngeri, ada yang pernah merasa lehernya tersentuh angin dingin saat sedang sendirian di rumah. Padahal kipas mati, jendela tertutup rapat.
Entahlah. Mungkin memang benar kata orang-orang tua: tempat-tempat yang pernah menjadi saksi bisu tragedi, tidak pernah benar-benar kosong dari penunggunya.
Jadi, jika kamu berniat begadang di sekolah, pastikan tidak sendirian. Dan jangan pernah lupa menjaga iman. Karena kadang, yang tak terlihat bisa jauh lebih nyata dari yang kita bayangkan.
Post a Comment